Namun semarak tersebut membuat masyarakat Jakarta seolah buta dengan situasi sosial yang memprihatinkan yang terjadi di sekitar. Di pinggir – pinggir jalan di banyak tempat, masih kita jumpai pemandangan seorang pemulung yang mengumpulkan barang – barang bekas, pengamen, tunawisma dan fakir miskin. Tak jarang dari mereka masih tergolong usia balita.
Berbagai penyebab yang akhirnya membuat banyak kaum kelas bawah di Jakarta harus melakoni pekerjaan mengemis atau psebagai pemulung. Mulai dari terlilit hutang, butuh biaya besar dan mendesak, korban PHK dan masih banyak lagi alasan lainnya. “Baju Dinas” selalu mereka kenakan saat mereka menjalani aksinya, biasanya berupa pakaian lusuh, bolong bahkan compang – camping, berharap orang – orang akan lebih iba dengan mereka dan bersedia mengulurkan bantuan untuk mereka.
Bertujuan awal mengadu nasib di Jakarta, banyak diantara mereka yang terkubur dalam kemilau dan gemerlap kota Jakarta. Beberapa anak berkeliaran dengan usia sekitar 5 – 12 tahun di depan Masjid Istiqlal, berusaha untuk mendapatkan belas kasih dari para pengunjung masjid. Mereka dibiarkan orang tuanya untuk ‘bekerja’ di sana dari saat buka puasa hingga saat sahur usai. Sang ibu sembari menggendok anaknya yang masih berusia 1,5 tahun, memantau keempat anak lainnya yang sedang mengacungkan tangan sambil memelas kepada pengunjung Masjid. Tiap malam mereka menginap di Istiqlal dan pulang saat pagi hari karena para anak harus kembali bersekolah.
Penyewaan bayi juga merupakan modus yang banyak dijadikan alternatif mencari uang. Demi upah Rp 30.000 per hari, sang ibu rela menyerahkan buah hatinya untuk disewa dan digendong orang lain pada saat mengemis. Tak peduli teriknya matahari atau dinginnya angin yang menusuk kulit di malam hari. Penghasilan 1 – 1.5 juta pun dapat mereka raih dari hasil memulung, meminta – minta dan sebagainya. Di tengah kerasnya kota Jakarta tiap - tiap hari mereka harus bekerja keras dengan ‘baju dinas’ demi untuk dapat bertahan hidup.
Berkelompok, inilah salah satu upaya mereka untuk dapat tetap bertahan dan mengamankan diri. Misalnya saja berkelompok dengan sesama wilayah tempat mereka tinggal atau membuat organisasi sederhana. Hitungan menarik dari data yang dikeluarkan oleh Satpol PP DKI Jakarta, hingga awal Agustus 2010 tercatat lebih 2.200 orang pengemis telah tertangkap oleh petugas Satpol PP. Sebuah angka yang tidak kecil jika disetarakan dengan label kota Jakarta yakni Kota Metropolitan. Dengan sistem penititpan hasil mengemis pada ‘induk semang’, sangat memungkinkan bertambahnya jumlah pengemis yang akan mengisi ruang – ruang kosong di Jakarta dengan memakai ‘seragam dinas’ mereka untuk bertaruh demi mempertahankan hidup di ibukota.
Menurut Gisella, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara saat lebaran sekalipun masih banyak fakir miskin dan pengemis malang melintang di kota Jakarta. “Di saat banyak umat muslim mempersiapkan hari raya Idul Fitri, tetap saja banyak pengemis dan fakir miskin mengais rejeki. Entah mereka diperhatikan atau tidak, tapi yang jelas sepertinya nasib mereka bagitu – begitu saja. Semoga banyak yang mau berbagi mereka di momen Ramadhan ini”.
Nama : Yosua Eka Putra
NIM : 915080109
Sumber referensi : Kompas Senin, 6 September 2010 artikel "Pengemis Musiman : Dari 'Baju Dinas' hingga sewa bayi"
No comments:
Post a Comment